5.11.10

Sore di Bandung dan Pelukis Jalanan Braga


Jari telunjuk menunjuk menempel tanah, hari menunjuk pukul lima sore.

Sore sudah demikian bergegas meramaikan kembali kota Bandung dengan para penghuni-penghuninya yang berlalu-lalang menuju ke rumahnya masing-masing setelah sibuk bekerja. Kemacetan-kemacetan rutin kembali terjadi seperti biasa. Menerjemahkan kelelahan dari tiap-tiap pelakunya. Ah, saya menyerah. Tak mau rasanya menghabiskan sore dengan bermacet-macet menghabiskan peluh di kendaraan. Cepat saya menepikan kendaraan ke kiri dan mengambil sebungkus permen karet dari saku celana. 

 
Jalanan Braga di penghujung senja memang menakjubkan. Bangunan-bangunan tua yang berjajar rapi ditemani hilir-mudik mobil dan motor yang ramai berseliweran membuatnya semakin terlihat eksotis, apalagi matahari sudah sedemikian menguning memantulkan siluet-siluet. Rasa haus yang kemudian tiba-tiba menyerang memaksa saya bergegas melangkahkan kaki mendekati seorang penjual minuman dingin yang berada disalah satu sisi jalan. Para pelukis jalanan terlihat berada di kiri dan kanan penjual minuman. Pelukis Braga… mata saya jadi iseng melihat beberapa lukisan yang terpajang di sana… mungkin sudah ratusan kali saya melewati sore di jalan ini, tapi entah kenapa, saya selalu betah berlama-lama memandang lukisan demi lukisan yang banyak dijajakan di tepi jalananan Braga itu.

“ Kang, lukisannya, kang?” Suara salah seorang penjual mengagetkan lamunan saya yang tengah menikmati goresan-goresan di kanvas tersebut. Saya hanya menggeleng pelan sambil tersenyum. Ia membalas senyuman itu dan kembali lurus menatap jalanan.

“ Lukisan ini dari Jelekong, ya?” Saya bertanya. Penjual itu menoleh dan mengangguk. “Ya,” jawabnya kemudian.“ Boleh Tanya-tanya, Kang?” saya berusaha meneruskan obrolan. Ia kembali mengangguk tipis, “ mangga (Silakan)” jawabnya kemudian. 
 Kami lalu bersisian menikmati sore. Mengobral obrolan demi obrolan. membunuh waktu, berbagi cerita.
Penjual itu bernama Kang Gugun. Sudah sebelas tahun lamanya lelaki paruh baya itu duduk sambil menjajakan lukisan di tepi Braga saban sore. Adalah sebuah daerah bernama Jelekong yang pada awalnya menyuplai lukisan untuk dijajakan di Braga. Perkampungan yang terletak di wilayah Baleendah Kabupaten bandung ini sudah puluhan tahun, tepatnya sejak tahun 1965 sudah terkenal dengan para penduduknya yang memiliki bakat melukis luar biasa.

“Kalau sekarang sih, sudah nyampur, tidak terbatas hanya dari Jelekong saja. Para pelukis-pelukis amatir yang masih duduk di bangku kuliah pun banyak yang menitipkan lukisannya untuk dijual di sini,” jelas Kang Gugun.

Lukisan-lukisan yang berasal dari Jelekong umumnya dijual dengan harga seratus ribu rupiah, sedangkan lukisan-lukisan non-Jelekong berkisar diantara lima ratus ribu sampai dua juta rupiah. Obrolan kami terus berlanjut tanpa memedulikan waktu. Membicarakan mimpi, cita-cita, dan harapan. Mimpi Kang Gugun beserta teman-temannya sesama penjual lukisan untuk menjadikan Braga seperti jalanan Malioboro di Yogyakarta dan juga sekaligus untuk mewadahi kreatifitas para pelukis-pelukis muda mungkin masih jauh dari genggaman, tapi senyum tulus mereka yang terlihat begitu yakin setidaknya menjelaskan tentang sebuah tekad yang kuat.
Menjelang matahari tenggelam. Saya meninggalkan Kang Gugun dan teman-temannya. Dari seberang jalan yang mulai beranjak sepi saya terus mengamati para penjual dan lukisan-lukisan tersebut. Lekat dan tak henti.
“Pelukis Jelekong,” gumam saya pelan. Satu sisi Bandung yang mungkin teramat sering kita lihat dan lewati. Mematri dan menghapalnya sebagai salah satu tempat produk lukisan massal di kota ini. Tapi Braga dan Jelekong ternyata tak sekadar itu. Braga dan Jelekong bagi saya adalah sebuah fenomena. Pelukis-pelukis tanpa nama besar yang terus menggoreskan kuasnya pada kanvas-kanvas untuk meneruskan hidup. Tak terbersit mungkin di benak para pelukis-pelukis itu untuk mengikuti pameran, misalnya, atau melakukan usaha lain yang dapat lebih mengukuhkan eksistensi mereka. Jelekong mungkin memang hanyalah Jelekong. Diantara derap hari yang terus bergerak, ia akan terus menjadi daerah yang terus memproduksi lukisan secara massal tanpa memperhatikan sisi ekslusifitasnya. Pelukis yang benar-benar menggantungkan hidupnya dari melukis dalam pengertian yang sebenar-benarnya. Sederhana dan tidak naïf. Ah, mungkin suatu hari nanti saya memang harus mengunjungi wilayah di Selatan Bandung itu untuk berbagi cerita lebih dan mengenalnya dengan lebih rapat.
 Lampu kota satu-persatu mulai hidup. Braga mulai membereskan lukisannya. Pelan saya beringsut meninggalkan Braga, sambil sesekali memejamkan mata. Menghembuskan nafas perlahan-lahan sambil membayangkan melangkahkan kaki di persawahan dengan hijau menyejukkan dan burung-burung saling sahut menyahut diantara sela-sela dedaunan yang tergambar pada lukisan-lukisan Jelekong.

1 komentar:

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails