Sepuluh lembar rangkaian daun lontar berwarna kuning kecokelatan direntangkan vertikal dan ditempelkan ke dinding kayu belakang sebuah lemari kaca berukuran sekitar 1x1,5 meter. Di setiap lembar daun yang usianya mungkin sudah ratusan tahun itu, tersusun rapi pahatan huruf dan bahasa Jawa Kuno. Di bawah lembaran yang terbuka, terlihat tumpukan naskah dari daun lontar yang lain setebal kira-kira 10 sentimeter. Sebuah keterangan sangat singkat berbunyi Riwayat Nabi Yusuf dipasang di bawah keseluruhan naskah. Selain naskah dari daun lontar, di dalam lemari teronggok dua lagi naskah kuno. Warna keduanya sudah kuning kusam. Bahkan sebagian di antaranya dimakan ngengat sehingga meninggalkan bekas bolong-bolong. Satu naskah di bagian depan terbuat dari kertas berbahan dasar kulit pohon saeh bertulisan huruf cacarakan dan berbahasa Jawa dan Sunda Kuno. Menurut keterangan yang ada, isinya adalah Babad Padjadjaran. Sementara itu, naskah yang ada di belakang terbuat dari kertas daluang, berhuruf, dan bahasa Jawa Kuno. Secuil keterangan yang ada menyebut itu naskah Sargah 7.
Tentu saja hal yang saya alami di atas bukan karena saya meminjam kantong ajaib tokoh kartun bernama Doraemon dan kembali ke masa lalu, namun itu terjadi beberapa hari yang lalu ketika saya tengah asyik menghabiskan waktu di sebuah museum yang dikenal dengan nama Museum Sri Baduga. Hari itu, beberapa bocah usia SD tengah asyik pula bermain di museum itu. Muka-muka mereka tampak begitu gembira sekaligus penuh penasaran.
Museum Sri Baduga yang beralamat di jalan BKR No. 185, Bandung ini memang menarik, apalagi bagi anak-anak karena ia secara langsung menawarkan sensasi dari kehidupan berabad lampau. Sebagai Museum umum yang memiliki koleksi dari jenis koleksi geologika, biologika, etnografika, arkeologika, historika, numismatika/heraldika, filologika, keramik, seni rupa, sampai teknologi ini, Sri Baduga memiliki sebanyak 6000-an koleksi benda-benda bersejarah. Yang terbanyak adalah koleksi rumpun etnografika yang berhubungan dengan benda-benda budaya daerah. Jumlah koleksi tersebut tidak terbatas pada bentuk aslinya, tapi dilengkapi pula dengan koleksi replika, miniatur, foto, dan maket. Benda-benda koleksi tersebut selain dipamerkan dalam pameran tetap, juga didokumentasikan dengan sistem komputerisasi dan disimpan di gudang penyimpanan koleksi.
Memang, Sri Baduga memiliki pesona yang sulit untuk ditolak. Pada pintu masuk saya, saya telah disambut dengan Prasasti Telapak Gajah. Beberapa anak-anak yang tengah berkunjung terlihat begitu antusias melihat prasasti tersebut. Prasasti ini dibuat pada masa kerajaan Taruma Negara. Tapak kaki tersebut katanya adalah tapak kaki kendaraan sang raja yaitu Punawarman. Pusat pemerintahan kerajaan Taruma Negara adalah di Bogor. Jadi tidak mengherankan kalau prasasti ini pun ditemukan di Bogor. Di sudut lainnya, sekelompok bocah SD lain yang tengah mengadakan semacam studi tur juga terlihat terkesima memandang beberapa patung Siwa dan Wisnu yang merupakan peninggalan dari kerajaan-kerajaan Hindu. Patung-patung ini sendiri awalnya ditemukan tersebar di beberapa wilayah di Jawa Barat.
Menurut keterangan petugas museum, benda-benda tersebut merupakan hasil perburuan ke seluruh pelosok Jawa Barat. “Di samping itu, ada pula benda-benda yang merupakan hasil pembelian dan sumbangan dari masyarakat,” paparnya singkat. Ia juga kemudian menambahkan bahwa animo kalangan siswa terhadap Museum Sri Baduga sangat tinggi dibandingkan masyarakat umum lainnya. Hampir setiap hari, selalu ada kunjungan dari kalangan siswa yang jumlahnya lebih dari 500 orang.
Main-main ke museum memang super cociks asyiks. Dengan mengunjungi museum ini, wawasan akan semakin bertambah luas dan hiburan pun akan didapat. Mari serbu Sri Baduga, belajar dari masa lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar